Dilematis Rasa
Dilematis Rasa
Semakin ke sini, apa yang membuatku semakin bersemangat karena
kemudahan yang berikan oleh-Mu untukku. Bukan hal sebuah materi, bukan juga
sebuah pangkat atau kedudukan, tetapi sebuah ketenangan bathin. Kalau tidak?
Sudah dari dulu aku berada di puncak tapi aku memilih jalan ini.
Dilema ketika dihadapkan kesenangan hidup. Dilema ketika dihadapkan
diantara pilihan ini. Sampai saat ini, jalan ini terbaik. Jam
menunjukkan pukul 19.43, adzan isya berkumbang di area Tholib Nurul Fikri
Boarding School, aku bersegera berangkat sholat isya. Namun
ide tiba tiba muncul untuk menulis sebuah cerita yang mungkin akan berubah
ketika saya tak melanjutkan cerita ini.
Saat itu, dulu ketika saya dan ketiga kakak saya masih
kecil-kecil.Yang hanya makan sambil terasi bebarengan tempe bakar. Wah ini
nikmat sekali. Kilas balik, saat itu saya bercita cita ingin menjadi seorang
dosen. Dan keinginan itu seakan akan, akhir akhir ini mulai memuncah.
Wahai Yang Membolak balik Hati, berilah diri hamba ke jalan yang
lurus. Di pikiran yang lain, sudah saat nya, sudah masa nya, saya memikirkan
diri saya. Di pikiran yang
lain, saat nya kamu berbakti pada orang tua, sedikit sekali kamu berbakti
kepada nya.
Di lain pikiran, umur mu telah mencapai usia matang, saat nya ke
jenjang yang lebih serius. Apakah saya selama ini tidak serius? Bukan, "kamu
bukan tidak serius",kata pikiran lain saya berkata. Tetapi kamu tidak
fokus, pikiran atau hajat mana yang lebih diprioritaskan? Ok, fine.
Saya dilema, dilematis rasa. Rasa yang mulai
menggelayut diujung jalan ini, tolong beri sedikit secercah harapan. Dukungan
moril, do'a, dan sekelumit semangat. Saya tidak tahu do'a yang mana dari antum
wa antuna yang dikabulkan.
Bulan Februari yang menuju setengah, bulan Ramadhan yang mulai
mendekati.
Bukan tidak mungkin 1+1 tidak selalu sama dengan 2.
Bukan tidak mungkin apa yang telah kita ajar kan selama ini salah,
wahai ustadz dan ustadzah.
Bukan permasalahan bagaimana ruang Hilbert di bidang Matematika itu
tercipta bilamana tidak ada arah dan jarak.
Dan bukan masalah cepat cepat tapi karena ini masalah waktu. Bila
harus pergi, maka tinggalkan jejak sejarah yang terbaik, bukan karena hal
keburukan.
Saya Hirwanto yang hanya serpihan debu. Yang
berharap jadi serpihan berlian. Dilema ya dilematis dalam rasa, Diakhir cerita ini.
Masjid Abdul Malik
Menunggu anak privat :)
Komentar
Posting Komentar