BEBERAPA KESALAHAN DALAM SHOLAT

Segala puji bagi Allah Ta’ala, semoga salawat dan salam terlimpahkan  pada tauladan kita Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam, keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang –orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du.
Shalat merupakan ibadah yang agung. Diantara bukti keagungannya adalah Allah sendiri langsung menyampaikan kewajiban sholat kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam peristiwa isra’ mi’raj. Shalat merupakan penyejuk hati Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, beliau senantiasa berpesan kepada umatnya untuk menjaga shalat. Karena agungnya ibadah ini, maka hendaknya seorang muslim perhatian terhadapnya dan waspada terhadap praktek- praktek yang keliru dalam shalat bisa merusak kesempurnaan atau bahkan membatalkannya. Dalam pembahasan kali ini kami sampaikan beberapa kekeliruan yang sering dilakukan ketika shalat dalam rangka saling menasehati dalam kebenaran.


Mengeraskan bacaan niat

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,beliau berkata “Adalah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam membuka shalat dalam takbir(yaitu takbiratul ihram)”.(HR.Muslim).
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma  beliau berkata, “Aku melihat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam  membuka dengan bacaan takbir dalam shalat, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya”(HR. Bukhari).
Dalil diatas dan banyak dalil lainnya dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menunjukkan bahwa shalat dibuka dengan takbir (yaitu takbiratul ihram) dan sebelumnya beliau tidak membaca apapun.
Al Qadhi Abu Rabi’ Sulaiman bin Umar Asy Syafi’i berkata, “Mengeraskan niat dan bacaan Al Qur’an dibelakang iman bukanlah termasuk sunnah, bahkan merupakan suatu hal yang makruh (dibenci), dan jika sampai mengganggu orang lain yang shalat maka menjadi haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan lafadz niat termasuk sunnah, maka dia telah keliru, dan tidak boleh baginya dan orang selainnya untuk beribadah tentang agama Allah Ta’ala dengan tanpa ilmu”.
Abu Abdillah Muhammad bin Al Qashim At Tunisi mengatakan, “Niat merupakan amalan hati. Melafadzkannya dengan keras merupakan perbuatan yang mengada-ada yang tidak pernah diajarkan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, selain itu juga bisa menganggu orang lain”.
Abu Abdillah Az Zubairi, salah seorang ulama dari Mahzab Syafi’i telah melakukan kekeliruan diman beliau mengeluarkan statement bahwa diantara pendapat Iman Syafi’i adalah wajibnya melafadzkan niat dalam sholat. Sebab kekeliruan beliau adalah salah paham terhadap perkataan Imam Asy Syafi’i. Perkataan Imam Asy Safi’i yang dimaksud adalah ketika beliaub berkata,  “Ketika sseorang berniat untuk haji dan umrah maka itu sah meski dia tidak melafazdkannya, dan ini tidak sebagaimana shalat, maka shalat tidak sah kecuali dengan diucapkan”.
Imam Nawawi berkata, “Para ulama kami (yaitu ulama mahzab Syafi’i) mengatakan: “Orang yang mengatakan bahwa wajib melafadzkan niat dalam shalat (yaitu Abu Abdillah Az Zubairi) telah melakukan kekeliruan. Dan bukanlah yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i dengan perkataan beliau…” maka shalat tidak sah kecuali dengan diucapkan”  adalah wajibnya melafadzkan niat. Namun yang beliau maksud adalah takbir( yaitu takbiratul ihram)”.(Al Majmu’3/243, karya An Nawawi).
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak seorang pun dari kalangan imam madzhab yang empat, tidak Asy Syafi’i , dan tidak pula yang lainnya yang mengatakan diisyaratkan melafadzkan niat. Tempat niat adalah hati berdasarkan kesepakatan mereka. Akan tetapi sebagian ulama belakangan mewajibkan melafadzkan niat dan mengklaimnya sebagai salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i. Imam An Nawawi mengatakan,  “Orang yang mewajibkan melafadzkan niat adalah keliru.”(Al Ittiba’ hal 62).

Tidak Membaca dengan Lisan Ketika Takbir, Membaca Surat, Dan Dzikir

Tidak membaca dengan lisan ketika takbir, membaca surat, dan dzikir –dzikr  sholat yang lain dan mencukupkan diri dengan membaca dalam hati merupak sebuah kekeliruan. Orang yang melakukannya seolah-olah menggangap bahwa shalat hanyalah perbuatan anggota badan yang tidak ada ucapan lisan maupun dzikr sama sekali. Padahal membaca dengan lisan merupakan sebuah hal yang wajib dalam shalat menurut para ulama dan para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum.
Seandainya membaca dalam hati adalah sah dalam sholat, maka Nabi tidak mungkin akan bersabda kepada seseorang yang praktek sholatnya belum benar “… kemudian bacalah ayat Al quran yang mudah bagimu”. Karenanya yang nama nya “al qira’ah” (bacaan) bukanlah bacaan hati. Dan diantara konsekuensi dari “al qira’ah” – ditinjau dari sisi bahasa arab dan sisi syariat adalah - mengerakkan lisan sebagaimana  yang telah diketahui. Diantara hal yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al quran karena hendak cepat cepat menguasainya (QS Al Qiyamah 16).
Oleh karena itulah para ulama berpendapat bahwa orang yang junub dilarang membaca Al Qur’an, mereka membolehkan membaca ayat dalam hati ketika junub, karena membca dalam hati bukanlah “al qira’ah”(bacaan).

Memejamkan Mata Ketika Sholat

Ibnu Qayyim mengatakan, “Bukanlah termasuk petunjuk  Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memejamkan kedua mata beliau ketika shalat. Dan telah berlalu penjelasan bahwa ketika tasyahud beliau mengarahkan pandangannya ke jari-jari beliau dalam doa, dan pandangannya beliau tidak lepas dari isyarat beliau ( yaitu isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud).”
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang status makruhnya memejamkan mata dalam shalat. Imam Ahmad dan ulama lainnya menilainya sebagai suatu hal yang makruh, mereka mengatakan,  “Itu adalah perbuatan orang Yahudi.” Sejumlah ulama lainnya menilainya sebagai suatu hal yang mubah dan tidak makruh, mereka mengatakan, “Terkadang hal tersebut lebih bisa membantu tercapainya kekhusyukan yang merupakan ruh shalat dan inti shalat.”
Pendapat yang lebih tepat adalah  jika membuka mata tidak menyebabkan terganggunya kekhusyukan maka membuka mata lebih utama. Akan tetapi jika membuka mata bisa menghalangi antara orang tersebut dengan kekhusyukan, semisal karena di arah kiblat terdapat hiasan dan lainnya yang mengganggu konsentrasi hatinya maka dalam keadaan ini menutup mata shalat tidaklah makruh.

Tidak tuma’ninah dalam shalat

Dari Zaid Bin Wahb beliau mengatakan, “Hudzaifah melihat seorang laki laki yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Beliau berkata,” Engkau tidaklah shalat. Seandainya engkau mati maka engkau mati dalam keadaan tidak fithrah  yang Allah fithrah kan kepada Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam” (HR.Bukhari)
Atsar di ata menunjukkan wajibnya tuma’ninah dalam ruku’ dan sujud, dan cacat pada dua hal tersebut merupakan pembatal shalat karena Hudzaifah mengatakan, “Engkau tidaklah shalat. Hal ini semisal dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam kepada seseorang yang belum benar shalatnya sebagaiman hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wa sallam masuk masjid kemudian masuklah seorang laki-laki kemudian shalat. Kemudian dia datang mengucapkan salam pada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Maka Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda “ kembalilah dan sholatlah karena sesungguhnya engkau belum shalat. Kejadian ini berlangsung tiga kali. Maka laki laki tersebut mengatakan,  “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa shalat lebih baik dari shalatku ini”. Maka ajarilah aku”. Nabi bersabda: “Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke    arah kiblat, kemudian bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian ruku’lah sampai engkau tuma’ninah dalam ruku’mu. Kemudian bangkitlah sampai engkau i’tidal dalam keadaan berdiri. Kemudian sujudlah sampai engkau tuma’ninah dalam sujudmu. Kemudian lakukanlah hal tadi dalam seluruh shalatmu”(HR.Bukhari).
Hadits diatas merupakan dalil wajibnya tuma’ninah. Barangsiapa yang meninggalkan maka ia tidak melaksanakann diperintahkan kepadanya, dan status nya masih sebagai orang yang dituntut untuk melakukan perintah tersebut.
Para ulama mengatakan,  “Tidaklah sah ruku’, berdiri setelah ruku’, tidak pula duduk antara sujud sampai orang tersebut i’tidal (proporsional) dalam ruku’, berdiri setelah ruku’, sujud dan duduknya. Dan ini merupakan pendapat yang shahih yang erdapat dalam atsar, dan inilah pendapat jumhur ulama dan para ulama(Tafsir Al Qurtubi 11/124-125).
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam  juga melarang shalat dalam keadaan cepat sehingga seperti mematuk dalam keadaan shalatnya. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,  “Itu adalah shalat orang munafik  sehingga seperti mematuk dalam keadaan shalatnya. Rasulullah SAW bersabda itu adalah shalat orang munafik yaitu seseorang duduk mengintai-intai matahari, sampai ketika matahari berada diantara dua tanduk setan, maka dia berdiri kemudian mematuk(dalam shalatnya) empat rakaat, dia tidak berpikir pada Allah kecuali sedikit.(HR.Muslim).
Keadaan orang yang mematuk dalam shalatnya adalah sebagaimana yang bisa kita saksikan pada sebagian orang yang shalat. Sebagian orang melakukan rukun- rukun shalat secepat anak panah, tidaklah lebih dari ucapan “Allahu Akbar” dalam ruku’ dan sujudnya dan ia melakukannya dengan sangat cepat. Hampir- hampir sujudnya mendahului ruku’nya dan ruku’nya mendahului bacaan suratnya. Dan tidak jarang ada orang yang mengganggap bahwa bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud lebih utama dibaca sekali daripada tiga kali. Dan ini merupakan sebuah hal yang keliru.
Demikian pembahasan kali ini semoga bermanfaat bagi kita semua . marilah kita senantiasa memperbaiki amal ibadah kita dengan meninggalkan apa kita ketahui itu keliru dan mengamalkan apa yang menjadi ajaran Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.

Dari At-tauhid, Jumat, 9 November 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMART DIAGRAM di LaTeX

Membuat Soal Ujian Menggunakan LaTeX #Part 2

Instalasi Protext LaTeX di Windows 7 , 64-bit